Jumat, 26 April 2024
FINTECHNESIA.COM |

Belanja Online Semakin Favorit, Perlindungan Konsumen E-Commerce Masih Lemah

BACA JUGA




FinTechnesia.com | Belanja online semakin menjadi sarana masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisnis e-commerce pun semakin bergairah.

Namun, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Siti Alifah Dina menemukan, perlindungan konsumen e-commerce di Tanah Air masih belum memadai. Padahal Indonesia merupakan pasar yang potensial untuk perkembangan industri ini. Pertumbuhan akumulasi nilai pembelian melalui platform digital di Indonesia tertinggi di ASEAN, setara Vietnam.

Menurut studi Google, Temasek, & Bain (2020), tansaksi e-commerce di Indonesia meningkat dua kali lipat sejak pandemi Covid-19 dimulai. Yaitu sebesar US$ 32 miliar atau meningkat 54% dari angka di tahun 2019.

Ada beberapa persoalan yang berpotensi menghambat pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Pertama, belum ada regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Maka, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan perusahaan financial technology (fintech), data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen.

Kedua, awareness di masyarakat dan juga upaya pemerintah yang masih minim. Masyarakat sebagai konsumen belum sepenuhnya paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen. “Upaya-upaya pemerintah juga perlu ditingkatkan supaya mendorong terciptanya kebijakan-kebijakan yang mengedepankan prinsip perlindungan data pribadi konsumen,” tegas Dina, Selasa (12/1).

Sejatinya Indonesia saat ini sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). PP ini merupakan turunan dari UU No. 19 Tahun 2016, amandemen dari UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

PP ini sudah mengatur beberapa hal, di antaranya larangan membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga dan aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce. Kewajiban penyedia layanan e-commerce melaporkan data kepada Badan Pusat Statistik juga turut termasuk di dalam PP ini. Belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce dalam mematuhi regulasi yang berlaku.

Lembaga pemerintah yang saling terkait idealnya bersinergi dalam merumuskan aturan-aturan perlindungan terhadap para konsumen e-commerce. Konsolidasi juga sebaiknya melibatkan bisnis, asosiasi, dan akademisi.

“Diharapkan juga beberapa aspek perlindungan konsumen online yang masih luput di PP tersebut dapat diakomodir. Seperti model bisnis dropshipping,” jelas Dina. (eko)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER