Rabu, 27 Maret 2024
FINTECHNESIA.COM |

Percepat Tercapainya Inklusi Keuangan dengan Perlindungan Konsumen P2P Lending

BACA JUGA




FinTechnesia.com | Akses ke layanan keuangan normal untuk individu di Indonesia terbilang masih rendah. Perlindungan konsumen financial technology (fintech) peer to peer lending (P2P lending) diharapkan berkontribusi pada tercapainya inklusi keuangan.

Di pasar dengan hampir 270 juta orang, baru sekitar 17 juta kartu kredit per Maret 2019. Jumlah ini hanya naik sedikit dari 2012, yaitu sekitar 14 juta. Sekitar 17 juta kartu ini dipegang oleh sekitar 10–11 juta orang. Atau hanya 6% dari total populasi orang dewasa Indonesia.

Menurut survei Global Findex, hanya 18% orang Indonesia yang meminjam secara formal melalui bank atau kartu kredit. Mayoritas orang Indonesia lebih memilih meminjam uang dari keluarga dan teman (36%). Atau secara semi-formal melalui klub tabungan bergilir atau asosiasi kredit (11%), yang biasanya mengenakan suku bunga yang jauh lebih tinggi.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ajisatria Suleiman mengatakan, upaya mendorong inklusi keuangan perlu terus dilakukan. Terlebih di masa pemulihan ekonomi seperti sekarang ini.

Kegiatan ekonomi yang dulu tradisional lewat lembaga keuangan seperti bank, bertransformasi ke arah pemanfaatan teknologi yang masif. Mendukung kemunculan fintech.

Kehadiran P2P lending yang dipasarkan oleh fintech berperan penting mempercepat tercapainya inklusi keuangan. Peran fintech menjadi semakin penting di masa pandemi karena adanya implementasi kebijakan pembatasan sosial dan desakan kebutuhan dana dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pandemi.

Apalagi, 70,5% masyarakat berpenghasilan rendah atau di bawah Rp 1,8 juta per bulan, mengaku mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi menurut survei Badan Pusat Statistik. Penyedia layanan P2P lending menawarkan beragam produk dan layanan untuk bisnis dan konsumen.

Mereka melayani kebutuhan bisnis menengah, pengusaha mikro, dan konsumen. Baik segmen kelas menengah maupun berpenghasilan rendah.

Walaupun demikian, Ajisatria menyebut, perkembangan P2P lending diwarnai banyak kontroversi. Misalnya terkait praktek pemberian pinjaman yang menawarkan pinjaman tunai tanpa jaminan atau payday loan.

Selain itu, kebanyakan dari mereka belum memiliki sistem perlindungan data pribadi yang memadai. Sehingga data pribadi konsumen rawan disalahgunakan.

Menanggapi tuntutan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang akses ke data yang diandalkan oleh banyak penyedia layanan P2P lending untuk mengembangkan model penilaian kredit alternatif mereka. Meskipun langkah ini dapat mengurangi penyalahgunaan akses dalam jangka pendek. Masalah lebih fundamental adalah belum adanya sistem penilaian kredit bagi calon konsumen yang berpenghasilan rendah yang umunnya tidak masuk di sistem informasi kredit formal.

Dalam upaya menutup kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dan perilaku pasar yang sebenarnya, asosiasi industri fintech, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) telah mengambil peran “co-regulation” atau pengaturan bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Kemitraan OJK dan AFPI sudah berada di jalur yang benar. Tapi keduanya perlu meningkatkan upaya membuat, mengadopsi, menegakkan dan mengembangkan kebijakan dan regulasi melalui serangkaian reformasi regulasi dan pasar agar semakin kuat di masa mendatang,” terang Ajisatria, Rabu (17/3).

Untuk turut memperkuat perlindungan konsumen P2P lending, CIPS merekomendasikan beberapa hal. Pertama, fintech diizinkan mengakses data seluler milik konsumen. Tapi di saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu memperbaiki framework atau kerangka kerja terkait izin akses saat mengumpulkan dan menggunakan data konsumen.

Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan ulang larangan total mengakses data seluler karena menghambat upaya inklusi keuangan. OJK dapat fokus pada pemberian kerangka persetujuan atau consent yang jelas untuk akses data pribadi. Sebenarnya sudah tercantum di dalam usulan revisi POJK 77 dan dengan mendukung pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sedang dibahas di DPR.

Di tingkat lebih teknis, OJK (dan / atau bersama AFPI) juga dapat mengeluarkan pedoman tentang cara mengumpulkan dan menggunakan data pribadi orang-orang di luar peminjam (biasanya yang terdaftar sebagai kontak darurat). “Memastikan persetujuan mereka juga diperoleh dengan benar,” tambah Ajisatria.

Rekomendasi berikutnya, pedoman yang lebih jelas bagi konsumen tentang bagaimana dan ke mana mengajukan pengaduan untuk setiap jenis masalah terkait dengan transaksi P2P lending. Pedoman ini sangat diperlukan.

Konsumen tidak mengetahui jenis pelanggaran apa yang harus diajukan ke OJK (penagihan utang secara agresif, legalitas pemberi pinjaman) atau ke polisi (dalam kasus ancaman, penganiayaan atau pelecehan). Mereka juga kurang mengetahui daftar bukti dan dokumen yang akan diterima OJK atau polisi. Apalagi konsumen tersebut bukan peminjam sendiri melainkan hanya kebetulan ada di daftar kontak peminjam. (eko)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER