Rabu, 17 April 2024
FINTECHNESIA.COM |

CIPS Sebut, Mitos Predatory Pricing Rugikan Perkembangan Pasar Digital

BACA JUGA




FinTechnesia.com | Kekhawatiran praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia dengan cara membatasi impor tidak hanya akan merugikan konsumen tetapi juga produsen. Penjual eceran domestik juga akan merasakan dampaknya.

“Pemerintah kini mewacanakan pembatasan perdagangan barang impor di pasar online. Ini demi mencegah produsen asing menguasai pasar. Yakni dengan menjual dengan tarif predator atau jauh di bawah biaya produksi,” ungkap Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu, Sabtu (5/2).

Thomas berpendapat, pemerintah tidak memiliki bukti, praktik predatory pricingterjadi di pasar digital di Indonesia. Asumsi yang belum terbukti ini menjadi salah satu yang mendasari revisi Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 50/2020.

“Harga yang lebih murah yang didapatkan lewat efisiensi skala produksi dan kompetisi yang sehat tentu sah-sah saja. Dan bukan merupakan tarif predator,” jelasnya.

Mengkategorikan produsen yang berhasil memperluas porsi pasar dengan produktivitas yang tinggi atau pengelolaan biaya yang baik sebagai “predator” justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar. Padahal kompetisi dan inovasi dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produk dan daya saing mereka.

Prinsipnya, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi. Yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka. Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar.

Membedakan antara harga predator dan harga kompetitif memang tidak mudah. Tapi kita bisa mengacu pada pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Yakni memberikan berbagai opsi pengujian untuk menentukan apakah rendahnya harga suatu barang dapat dikategorikan sebagai predatory pricing.

Pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi kemungkinan terjadinya praktik tarif predator. Sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.

“Selanjutnya, penggunaan sistem kuota juga tidak tepat. Karena tidak transparan dan menutup peluang pelaku usaha kecil untuk mengakses bahan baku atau barang konsumsi dengan harga yang lebih terjangkau,” imbuh Thomas.

Sebaliknya, dukungan terhadap UMKM harus menjadi prioritas revisi Permen Nomor 50/2020. Mengurangi hambatan dalam memasuki pasar digital dengan menimbang ulang pemberlakuan persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online dengan website yang dikelola sendiri dapat dipertimbangkan untuk mendorong lebih banyak UMKM memasuki pasar digital.

Semakin banyak UMKM yang berpartisipasi di perdagangan online, perusahaan predator akan sulit membebani konsumen dengan harga tinggi di kemudian hari untuk menutup kerugian mereka di awal. Konsumen akan beralih ke pelaku usaha lain yang dapat menawarkan harga lebih rendah.

Apabila Kementerian Perdagangan tidak dapat membuktikan adanya predatory pricing, menghukum produsen dengan harga rendah akan menjadi manuver yang berbahaya yang tidak hanya merugikan konsumen dan UMKM dalam negeri. Tapi juga akan mengakibatkan berlakunya harga pasar yang lebih mahal dari harga optimal. (sen)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER