Fintechnesia.com | Indonesia merupakan pasar besar bagi asuransi. Penetrasi di Indonesia baru 1,5% lebih kecil dibanding negara Asia lain, seperti India di angka 3%. Salah satu solusi memperbesar pasar adalah inklusi dengan digitaliasi asuransi atau insurance technology (insurtech).
Data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) kuartal I 2019 mencatat, jumlah nasabah sebesar 53 juta atau 25% dari populasi. Jauh lebih rendah dibanding Singapura dengan 90%.
Memang tidak ada jaminan, setiap bisnis digital dapat menaklukkan pasar asuransi Indonesia dengan mudah. Secara umum, orang Indonesia skeptis membeli asuransi.
Hal ini terjadi karena adanya stigma negatif masyarakat terhadap perusahaan asuransi. “Salah satu paling besar yang ditemui ketika mereka (nasabah asuransi) mengajukan klaim,” ungkap Victor Roy, pendiri Bindcover, Minggu (1/3). Bindcover merupakan insurtech pertama yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan dalam klaster Insurance Broker Marketplace.
Beberapa tahun terakhir memang muncul beberapa startup teknologi asuransi berfokus pada perbandingan keuangan. Tujuannya memberikan kemudahan konsumen membeli produk asuransi secara online dari broker berlisensi.
Layanan digital mau tidak mau menjadi bagian penting dalam layanan asuransi. “Terlihat juga fintech telah pesat berkembang maka berikutnya adalah insurtech),” tambah Victor.
Adanya insurtech dapat menjadi solusi untuk lebih menumbuhkan pasar asuransi. Lewat berbagai inisiatif digital konsumen dapat jauh lebih banyak mencari dan mempelajari berbagai produk asuransi pilihan mereka. Dan ini kian mudah dapat diakses lewat mobile atau komputer.
Proses pemasaran digital dari mencari dimulai dari penawaran produk asuransi, e-Policy, proses klaim, operasional, pengembangan distribusi dan lainnya sudah bisa dilakukan digital. Hal-hal semacam ini akan lebih menggairahkan pasar asuransi. (yof)