Senin, 29 April 2024
FINTECHNESIA.COM |

Risiko Pasokan Obligasi Lebih Rendah di 2024, BI Mempertahankan Suku Bunga Acuan

BACA JUGA




FInTechnesia.com | Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan di tingkat 6% pada pertengahan Januari. Pihak berwenang kemungkinan melihat alasan memperpanjang jeda pada kenaikan suku bunga dan memprioritaskan stabilitas rupiah melalui pendekatan multilateral.

Para pelaku pasar tidak sepakat tentang langkah ke depan. DBS Macroeconomic Research Team melihat manfaat menunda langkah penyesuaian untuk melonggarkan suku bunga pada separuh kedua 2024.

Inflasi dikelola dengan baik pada paruh kedua 2023, dengan unsur basis membantu membatasi Indeks Harga Konsumen (IHK) umum di bawah 3% pada akhir tahun 2023. Inflasi inti melemah di bawah 2%.

Ekonom Bank DBS memperkirakan inflasi 2024 akan mencapai rata-rata 2,8% secara tahunan, Menandai rata-rata lebih tinggi untuk paruh pertama 2024, sebesar 3% – 3,5 3,5%, sebelum menurun.

Baca juga: Peluang Pasar Obligasi di Akhir Siklus Kenaikan Suku Bunga

Hal ini menyebabkan suku bunga riil berada di wilayah sangat positif dalam enam bulan terakhir. Dengan inflasi diperkirakan akan meningkat pada paruh pertama 2024, maka selisih suku bunga riil positif akan menyempit dari 3,0-3,5% menjadi menjadi 2,5-2,8%, menyisakan cukup ruang untuk menurunkan suku bunga.

Namun, selisih suku bunga kebijakan AS dan Indonesia masih sangat rendah, sehingga meyakinkan investor asing untuk memantau lingkungan makro dengan seksama. Terlepas dari prospek inflasi yang mendukung, penyesuaian dalam ekspektasi penurunan suku bunga AS telah membuat imbal hasil surat berharga pemerintah AS (UST) naik turun tidak menentu.

Dolar AS juga memasuki fase konsolidasi setelah koreksi tajam pada akhir tahun lalu, membuat penawaran dolar AS-rupiah berakhir di kisaran 15.500-15.700, meskipun cadangan devisa melonjak mendekati rekor tertinggi. Dengan latar belakang ini, bank sentral sepertinya tidak akan memiliki dorongan untuk memberikan panduan lunak atau melakukan pelonggaran kebijakan, sampai ada kejelasan mengenai perkembangan eksogen.

“Indonesia menghadapi risiko pasokan obligasi lebih rendah pada 2024,” tulis Senior Economist DBS Bank, Radhika Rao, Jumat (9/2)/ 

DBS Macroeconomic Research memandang rencana pemerintah untuk menghimpun dana sebanyak Rp240 triliun pada triwulan pertama tahun 2024 atau Rp 36 triliun sepekan, lebih tinggi dari triwulan keempat 2023, sebagai langkah untuk melakukan pinjaman dini.

Pada pertengahan Januari 2024, pemerintah telah menerbitkan 7% dari target pembiayaan obligasi 2024. Indonesia juga telah menghimpun US$ 2,05 miliar bulan ini melalui penerbitan obligasi dolar (5 tahun, 10 tahun dan 30 tahun) dalam tiga tahap pada awal tahun.

Obligasi tersebut enyusul penghimpunan dana sebesar US$ 2 miliar melalui sukuk dolar AS/obligasi syariah pada November. Obligasi dalam mata uang asing ini juga membantu mendukung posisi neraca pembayaran, terlepas dari saldo kas rupiah, yang cukup besar. Pengeluaran diperkirakan tidak akan mencapai target, terutama dengan pemilu mendominasi narasi tahun ini, yang juga akan menurunkan total kebutuhan pembiayaan.

Secara keseluruhan, dinamika ini akan menurunkan gejolak pasar obligasi rupiah, tepat pada saat pelaku pasar masih fokus pada pemilihan waktu dan skala penurunan suku bunga AS tahun ini. “Ekonom Bank DBS tetap memiliki pandangan positif terhadap ruang pendapatan tetap rupiah, dan memperkirakan penurunan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang pada akhir 2024,” lanjut Radhina. (alo)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER