Senin, 29 April 2024
FINTECHNESIA.COM |

Digitalisasi Teknologi Bisa Menjadi Solusi untuk Industri Farmasi

BACA JUGA




FinTechnesia.com | Transformasi digital sudah menjadi kebutuhan bagi dunia industri saat ini khususnya sektor farmasi. Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu faktor yang mempercepat proses tersebut.

Sehingga banyak operasional bisnis saat ini bisa dipersingkat dan lebih efisien karena adanya teknologi yang memadai.

Menurut Yudhi Arieffianto, General Manager IT PT Phapros Tbk, karakteristik industri farmasi berkaitan erat dengan regulasi-regulasi pemerintah, seperti tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), penggunaan bahan, pengolahan, infrastruktur hingga sistem komputerisasinya.

Proses-proses bisnis ini membutuhkan adopsi teknologi, tidak saja di bagian produksi, tapi juga mencakup rantai pasokan. Dan pemilihan teknologinya dipengaruhi oleh produk yang dipasarkan dan yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan,” tuturnya, pekan lalu..

Digitalisasi teknologi bisa membantu tim operasional seperti melakukan pengecekan status produksi, kendala yang sedang dihadapi, titik kemacetan atau bottle neck, yang semuanya bisa divisualisasi. Sebelumnya, tim lapangan tidak punya akses untuk melihat product availability sehingga banyak yang luput untuk diawasi.

Baca juga: Tren Bisnis E-Commerce B2B di Indonesia di Masa Pandemi Meningkat

Demikian juga dari sisi pengadaan. “Ketika kita menerima terlalu banyak pesanan, maka butuh sistem reminder agar tidak terlewat, sistem monitoring untuk melihat apakah barangnya sudah datang atau belum, sudah ditempatkan atau belum, juga apakah sudah terdistribusi atau masih di pabrik,” ungkapnya.

Menurutnya, industri farmasi merupakan industri padat modal yang tidak saja membutuhkan investasi besar pada mesin, tapi juga kualifikasi ruangan serta persyaratan infrakstruktur.

“Teknologi itu butuh investasi, saat kesenjangan proses sudah teridentifikasi, maka saat itu sudah bisa dicari teknologi yang sesuai dengan portofolio produk kita dan kebutuhan kita,” terang Yudhi.

Yudhi mencoba menganalogikan pemanfaatan teknologi dari sisi penghematan. Misalnya, kita memilih teknologi yang bisa menghemat waktu sekian jam dalam proses produksi atau manajemen. Lalu kita kalkulasikan menjadi nilai rupiah, anggap saja penghematannya senilai Rp 100 juta, sedangkan harga teknologinya 500 juta. “Artinya, dalam lima bulan modal sudah bisa kembali,” lanjut Yudhi.

Proses digitalisasi teknologi Phapros cukup kompleks, karena terkait dengan regulasi dari otoritas yang berwenang.

Terkait teknologi kecerdasan buatan (AI), ia mengatakan, AI merupakan teknologi yang bisa memprediksi suatu pola. Di luar negeri, industri farmasi sudah ada yang mengembangkan kecerdasan buatan untuk memprediksi senyawa dalam penggunaan obat. Hal tersebut sangat memungkinkan karena di negara-negara maju database bahan farmasi sudah sangat lengkap.

Di Indonesia, beberapa pelaku industri farmasi sudah mulai ke arah sana. Termasuk juga Phapros, meski tentu jalannya masih agak panjang.

“Salah satu yang menjadi tantangan penerapan AI adalah validitas, karena farmasi sangat bergantung pada validitas,” tutup Yudhi. (iwa)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER