Senin, 6 Mei 2024
FINTECHNESIA.COM |

Kasus Binance, Warning untuk Perbaikan Tata Kelola Kripto di Indonesia

BACA JUGA




FinTechnesia.com | Indonesia Fintech Society (IFSOC) memandang, permasalahan Binance dan Coinbase, serta serangkaian permasalahan aset kripto, menjadi peringatan yserius pada ekosistem dan tata kelola kripto tanah air.

Guncangan di pasar kripto global tampaknya belum menunjukkan sinyal mereda. Jatuhnya harga Terra LUNA pada pertengahan tahun lalu, menyusul penangkapan pendirinya, Do Kwon, dengan dakwaan penipuan keuangan dan sekuritas, hingga runtuhnya FTX akibat kelalaian pengelolaan keuangan disusul oleh penahanan pendirinya, Sam Bankman-Fried, menjadi beberapa peristiwa besar yang mewarnai pasar kripto dalam tiga tahun terakhir. 

Terbaru, Securities and Exchange Commission (SEC) Amerika Serikat menggugat perusahaan pertukaran kripto, Binance dan Coinbase, Tuduhan SEC tak main-main: penggelapan dana nasabah dan pelanggaran regulasi sekuritas serius.

SEC juga menuduh Binance melakukan penipuan terhadap regulator dan investor, serta terlibat dalam perdagangan manipulatif. CEO Binance, Changpeng Zhao, diduga telah memindahkan miliaran dolar ke perusahaan di berbagai negara, yang merupakan milik pejabat, termasuk pendiri dan kepala eksekutif Binance.

Pemindahan dana tersebut dilakukan melalui Silvergate Bank dan Signature Bank. Kedua bank ini telah dinyatakan gagal di awal tahun ini.

Berbagai tuduhan dan dugaan tersebut kemudian menjadi dasar permohonan pembekuan aset Binance oleh SEC kepada pengadilan. Meskipun begitu Binance bersikukuh tidak bersalah dan akan melakukan pembelaan. 

Ketua Steering Committee IFSOC, Rudiantara menjelaskan, menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) nilai transaksi kripto sepanjang tahun 2022 mencapai Rp 306 triliun. Nilai tersebut menurun 64% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 859 triliun.

Meskipun begitu, jumlah Investor Kripto di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 16,7 juta orang, meningkat 45% dari tahun sebelumnya yang mencapai 11,2 juta orang. Dengan jumlah investor yang semakin besar, potensi pertumbuhan kripto di Indonesia tentu masih besar.

Binance memiliki exposure yang besar di Indonesia. Peristiwa ini tentu mempengaruhi bagaimana para investor memandang aset kripto.

“Sehingga berbagai upaya preemtif dan preventif harus didorong untuk memastikan kejadian yang sama tidak terulang di Indonesia” tegas Rudiantara, Selasa (13/6).

Indonesia telah menunjukkan satu langkah konkrit dalam merespon perkembangan kripto ke depan. Yakni terintegrasinya pengaturan kripto dengan sektor keuangan nasional melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). 

Baca juga: Harga Bitcoin Masih Volatil, Terapkan Strategi Dollar Cost Averaging

Melalui UU PPSK, apalagi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nantinya akan ada Dewan Komisioner yang mengatur khusus aset kripto, maka ke depan kita berharap pengaturan dan pengawasan aset kripto akan lebih komprehensif.

“Hal ini juga akan mendorong pengembangan pasar kripto dan mengoptimalkan dampaknya pada sektor keuangan dan ekonomi nasional.”, tambah Chief RA, sapaan Rudiantara. 

Anggota Steering Committee IFSOC, Tirta Segara menekankan urgensi adanya regulasi dan skema perlindungan dana investor. Menurutnya, hal ini akan berperan sebagai tonggak dan acuan jelas kepada platform mengenai batasan-batasan pengelolaan dana investor. 

Ini adalah salah satu sumber utama permasalahan sebagaimana yang kita lihat dalam kasus FTX dan sekarang Binance.

Sebagaimana diterapkan di area pasar modal, platform dan pelaku industri kripto mestinya juga tidak boleh menampung, mengalihkan, dan apalagi menginvestasikan dana yang dikelola secara serampangan dengan risiko tinggi tanpa izin.

“Hal ini sangat krusial dalam meningkatkan aspek perlindungan  konsumen di area kripto,” jelas Tirta.

Anggota Steering Committee IFSOC, Eddi Danusaputro menjelaskan bahwa kasus Binance dan Coinbase ini menjadi peristiwa yang semakin membuka mata akan risiko perlindungan konsumen di pasar kripto yang masih sangat rentan.

Menurut Eddi, sebagaimana investasi lainnya, risiko volatilitas merupakan investor own risk. Akan tetapi risiko yang muncul akibat kelalaian pengelolaan dana, pencucian, hingga penggelapan dana, dan risiko lainnya yang terkait tata kelola pasar kripto harus bisa diminimalisir. 

“Ini merupakan moment of truth bagi pasar kripto. Tanpa ada regulasi yang jelas, industri ini akan sulit mencapai pertumbuhan yang kondusif dan optimal” ungkap Eddi.

Eddi juga menambahkan bahwa kasus ini menjadi pembelajaran, cepat atau lambat para regulator di dunia termasuk Indonesia harus segera membentuk berbagai kebijakan untuk merespon perkembangan kripto.

“IFSOC mendukung pemerintah dan regulator yang saat ini sedang berupaya menyusun berbagai kebijakan yang memadai dalam rangka memperkuat pengaturan dan pengawasan pasar kripto. Hal ini akan mendorong terwujudnya pasar kripto yang aman dan terpercaya”, tutup Ketua AMVESINDO ini. (jun)


BERITA TERBARU

BERITA PILIHAN

header

POPULER